Presiden RIS Soekarno diantar
Kolonel Soeharto berangkat ke-
Jakarta tgl 28 Desember 1949
Berbicara konflik Indonesia-Belanda 1945-1949, sebenarnya kan berkaitan dengan proses dekolonisasi. Sejak tahun 1945, ketika Belanda kembali ke Indonesia, targetnya kan jelas. Yaitu Belanda angkat kaki, tapi dengan legowo dan tidak meninggalkan permusuhan. Waktu awalnya perundingan tawar-menawar tidak jauh dari pidato Ratu Wilhelmina 7 Desember 1942, yaitu Belanda berkuasa lagi sebagai kolonialis tapi bukan dengan gaya sebelum perang dan yang penting janji kemerdekaan itu ada. Tapi kapan ?. Kepastian ini amat sumir. Makanya rakyat bersenjata tidak bisa terima. Meskipun kedua pemerintah berusaha agar tidak saling bunuh, tapi suasananya sudah bersifat konflik bersenjata. Pokoknya "No War no Peace"lah. Karena ditekan Inggris, Indonesia-Belanda ahirnya berunding dan berunding lagi. Ketika Hoge Veluwe, pada bulan April 1946 itu kenyataan yang engga bisa dihindari bahwa undang-undang dasar Belanda tidak mungkin memberikan konsesi lebih jauh dari itu, disamping Belanda akan menyelenggarakan pemilihan umum pada bulan Mei 1946. Perimbangan politik yang mendukung Kolonial jalan terus atau bubar amat tipis.(PvdA tidak keberatan Kolonial angkat kaki dari Indonesia, sedangkan KVP ditambah kaum liberal yang tidak mau rugi mengharapkan bisa bertahan terus). Cilakanya kaum pro Kolonial menang tipis sehingga Beel naik jadi Perana Menteri. Makanya Belanda terus mendatangkan pasukan ke Indonesia. Gencatan senjata yang terjadi pada bulan September-Oktober 1946 itu bukan Armitice tetapi Truce atau sekedar penghentian permusuhan semata. Untungnya atas persetujuan parlemen Belanda, dibentuk komisi jenderal yang ketuanya adalah mantan Perdana menteri Schermerhorn (dari PvdA). Komisi Jenderal itu tugasnya sebagai delegasi Belanda untuk berunding dengan delegasi Indonesia, kalau perlu dengan Presiden Soekarno. Sebagai penengah Inggris mengirim diplomat kawakannya, Lord Killearn. Maka pada bulan Oktober dan November 1946, diadakanlah perundingan Indonesia Belanda di Jakarta dengan puncaknya di Linggajati Kuningan Jawa Barat. Hasilnya Belanda mengakui R.I (yang diproklamir tanggal 17 Agustus 1945) secara defakto meliputi Jawa dan Sumatera. Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat yang akan mengambil oper seluruh bekas jajahan Hindia Belanda dan dibentuknya suatu Uni Indonesia-Belanda dimana ketuanya adalah Ratu Belanda. Hasil perundingan ini yang berbentuk persetujuan, diparaf pada tanggal 15 November 1946. Pihak Indonesia tidak mendapat halangan berat untuk meratifikasi dalam sidang KNIP (februari 1947), tapi di Belanda perundingan parlemen cukup alot. Makanya yang muncul hasil perundingan November 1946 yang ditambah dengan penjelasan-penjelasan akibat interpretasi sepihak. Sampai saat ini para sejarawan Indonesia dan Belanda menganggap adanya dua macam hasil perundingan Linggajati. Yang pertama yang telah diparaf tahun 1946 dan yang kedua setelah diolah oleh parlemen Belanda itu yang dikenal sebagai "Linggajati yang disandangi".Tapi ahirnya pada 25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati jadi juga ditanda tangani. Tapi suasana ini sudah tidak sebaik tahun 1946. Bau mesiu sudah menyengat sekali. Aksi Polisionil Belanda yang pertama yang dimulai tgl 21 Juli 1947, tidak mendatangkan kemajuan berarti, makanya Indonesia-Belanda berunding lagi. Sekarang ditengahi PBB yaitu yang namanya Komisi Tiga Negara (KTN terdiri dari Australia, belgia dan Amerika Serikat). Tempat perundingan diatas kapal Amerika USS Renville. Perundingan dilanjutkan di Kaliurang Yogyakarta. Beel mantan Perdana Menteri Belanda diangkat menjadi Wakil Mahkota Belanda. Meskipun pangkatnya lebih tinggi, tapi resminya kan menggantikan van Mook sebagai penguasa Hindia Belanda. Konsep tokoh KVP ini adalah Pemerintahan Interim dimana Belanda masih berkuasa. Kapan itu berahir ?. Karena dianggap pihak R.I, sudah tidak mungkin diajak berunding lagi, maka diadakanlah Aksi Polisionil Belanda ke II yang tujuannya meniadakan R.I. Ibukota Yogya diserbu pada tanggal 19 Desember 1948. Sekarang dunia yang memprotes dan menganggap Belanda melakukan agresinya. Resolusi dikeluarkan sehingga tercapai gencatan senjata lagi. Ada 4 tempat Belanda-Indonesia berkonflik secara diplomatik dan Militer. Pertama dalam perdebatan diplomasi dalam sidang PBB antara Palar dan Dr Coa Sek In dengan van Roijen. Yang kedua secara militer di Jawa dan Sumatera pada basis-basis gerilya antara Soedirman dan Spoor. Yang ketiga di Bangka antara Hatta sebagai pimpinan bangsa mantan Peradana menteri dengan pihak Belanda (tentu saja Beel) termasuk dengan kedatangan Perdana menteri Drees pada bulan Januari 1949. Ini ditengahi KTN dengan Tokohnya Cocran (Amerika Serikat), Heremans (Belgia) dan Critchly (Australia). Dalam hal Bangka BFO (permusyawaratan negara Federal) dengan ketuanya Anak Agung Gde Agung bermain sangat manis. Seyogyanya mereka merupakan alat Beel untuk menggolkan sistim pemerintahan interim, tapi justru berhasil berunding dengan para pemimpin RI di Bangka yang memunculkan rencana menyelenggarakan Konperensi Inter Indonesia. Beel gagal total sehingga minta mundur. Sedangkan Jenderal Spoor mati misterius. Yang keempat adalah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dengan ketuanya Sjafroedin Prawiranegara. Dengan adanya PDRI yang menerima mandat saat Yogya diserang, maka pemeritah RI tetap eksis sehingga, Soedirman punya dasar untuk terus bergerilya. Demikian pula Palar dan Coa Sek In tetap bisa berdebat dengan van Roijen di New York sehingga PBB yang kini merubah KTN menjadi UNCI (United Nation Comission for Indonesia) dapat terus mendesak kedua pihak untuk berunding. Atas tekanan Amerikalah, Belanda (antara lain berkaitan dengan Marshal Plan) harus menerima resolusi PBB guna memulai perundingan Meja Bundar di Den Haag. Tapi sebelum itu Pemerintahan R.I harus dikembalikan lagi ke Yogya. Mengawali Konperensi Inter Indonesia, diadakan pernyataan Bersama Roem-Roijen sebagai wakil Soekarno-Hatta dan Pemerintah Belanda. Ketika Sjafroedin Prawiranegara mengembalikan mandatnya dengan lebih dahulu tentara Belanda ditarik dari wilayah Republi kemudian Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Yogya. Maka Pemerintahan R.I pun berlaku kembali. Setelah Konperensi Meja Bundar yang berlangsung pada Agustus 1949, maka terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat. Soekarno diangkat sebagai Presiden RIS dan Hatta sebagai Wakil Presidennya merangkap Perdana menteri. Mereka dilantik pada Bulan Desember 1949 sebelum berlangsungnya Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Republik Indonesia ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, Tetapi RIS baru ada sejak Desember 1949 atau resmi sebagai negara berdaulat pada tanggal 27 desember 1949 itu. Demikianlah kenyataan sejarah R.I dalam struktur yang kita kenal sampai sekarang. Tanpa mau menutupi, umur RIS tidak lama karena secara sepihak RI telah meniadakannya dengan kembali kepada negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar