Jumat, 11 Agustus 2006

Sekitar Proklamasi 4

Didalam tulisannya "Legenda dan Realitet" dalam Mimbar Indonesia tanggal 17 Agustus 1951 (no 32/33), Bung Hatta bercerita bahwa sekembali dari Rengadengklok kekuasaan jatuh kembali ketangan Soekarno-Hatta. Selanjutnya atas kesediaan Laksamana Maeda meminjamkan rumahnya, maka diselenggarakanlah pertemuan para pemimpin bangsa di Jakarta. Lewat tengah malam setelah mengadakan perundingan dengan Sumobutjo (saat itu dijabat oleh Kolonel Nishimura) ternyata Jepang telah mengambil sikap sebagai jurukuasa yang menerima perintah dari sekutu. Artinya pola Dalat untuk menyelenggarakan Kemerdekaan Indonesia dianggap tidak berlaku lagi. Maka pertemuan yang dihadiri oleh segala anggota Badan persiapan (maksudnya PPKI), wakil pemuda dan wakil-wakil beberapa golongan dalam masyarakat dilanjutkan. Dalam sidang ini atas anjuran golongan pemuda, ditetapkan dengan suara bulat bahwa Proklamasi Indonesia merdeka hanya ditanda tangani oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Dapat dibayangkan bahwa peristiwa pembuatan rancangan naskah Proklamasi tidak terlalu istimewa. Hatta membacakan, Soekarno menulis. Disana-sini dicoret dan diperbaiki...selesailah. Semua biasa-biasa saja, berjalan lancar sesuai dengan harapan semua orang. Konsep tulisan Soekarno ini lalu diketik oleh Sayuti Melik dan dibacakan kembali dimuka hadiri. Rencana untuk mengadakan Revolusi seperti yang digembar gemborkan para pemuda, tidak terjadi. Bahkan untuk ini Soekarni berkeliling kota memberi tahu bahwa gerakan demo tidak jadi dilaksanakan hari itu. Bung Hatta menyambung ceritanya : "Menurut pendapat kami Proklamasi Indonesia merdeka harus ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia karena mereka dianggap mewakili seluruh Indonesia. Jika perlu ditambah dengan beberapa anggota lainnya yang mewakili berbagai golongan dalam masyarakat. Sekalipun utusan dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil dan Maluku itu diangkat oleh Jepang, suara yang mereka perdengarkan untuk menyatakan Indonesia merdeka adalah suara dan cita-cita rakyat. Dengan ikutnya mereka terdapatlah simbul persatuan seluruh Indonesia. Rasa persatuan Indonesia itulah sangat penting dalam menyelenggarakan Revolusi Nasional. Dan rasa persatuan kedalam itu lebih penting dari pertimbangan yuridis dari luar apakah badan itu diangkat oleh Jepang atau tidak". Keadaan ini memberikan gambaran jelas kepada kita, bahwa pada tanggal 16 Agustus 1945 menjelang tanggal 17 Agustus 1945 itu, sebenarnya iklim Demokrasi sudah muncul. Rasanya persatuan yang diwarnai oleh kesadaran kebangsaan jauh lebih penting dari pada rasa persatuan untuk satu tujuan dan cita-cita yang ditentukan atau dipaksakan oleh satu atau sekelompok orang. (foto : Rumah Maeda, jl Imam Bonjol 1 Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar