Selasa, 07 Maret 2006

KIAI TAPA.



Sultan Zainul Arifin (1733-1748) adalah pewaris kerajaan Islam Banten. Istrinya Ratu Sarifa menghianatinya dan melaporkan bahwa sang sultan kurang waras jiwanya. Maka VOC sebagai penguasa dan pelindung politik serta militer Banten, langsung membuang sang sultan naas ini ke Ambon. Putra mahkota yang sebenarnya berhak menggantikan ayahnya juga dibuang ke Ceylon. Sarifa yang mengangkat dirinya sebagai wali, mengangkat putra mahkota baru yang juga adalah kemenakannya. Sudah bisa diperkirakan rakyat yang sudah muak kepada istana kesultanan ditambah arogannya pejabat VOC yang sebagian besar bule, ahirnya berontak pada bulan Oktober 1750. Para pemberontak menginginkan diangkatnya Ratu Bagus Buang sebagai penguasa baru. Pemberontakan ini dipimpin oleh seorang tokoh Alim Ulama bernama Kiai Tapa. Bersamaan dengan peristiwa ini, VOC dengan Gubernur Jenderal baru Jacob Mossel, sedang mengalami kemunduran dalam kemampuan militernya. Pada bulan November 1750, suatu pasukan gabungan kesultanan Banten dan VOC yang berjumlah 800 orang, dipukul mundur oleh kaum pemberontak yang jumlahnya jauh lebih besar (diperkirakan 7000 orang). Sejumlah 30 orang opsir dan prajurit bule terbunuh mati dalam pertempuran tersebut. Pasukan VOC masih bisa mempertahankan bentengnya, tapi sebagian besar wilayah Banten jatuh ketangan musuh. Pemberontakan lalu merembet sampai perbatasan Batavia yang membuat penduduk kota besar VOC ini ketar-ketir karena merasa takut akan datangnya pasukan Islam yang katanya akan melakukan pembunuhan besar-besaran warga Eropah. Rupanya pimpinan VOC di Batavia melihat bahwa kuatnya kaum pemberontak ini karena tidak adilnya pimpinan istana Banten. Jadi ini bukan soal konflik Belanda-kaum pemberontak, tapi mula-mula dipicu konflik internal antara Ratu Sarifa dan para pemuka masyarakat. Ahirnya tampa kehilangan akal, VOC menangkap Ratu Sarifa dan kemenakannya tersebut yang lalu dibuang kepulau Edam (jajaran pulau 1000). Ratu meninggal dipulau tersebut pada bulan Maret 1751. Oleh VOC kemudian diangkat Pangeran Arya Adil Santika, adik dari sultan Zinul Arifin. Pengankatan ini sifatnya sementara, sambil menunggu kembalinya putra mahkota dari Ceylon. Tapi pemberontakan tidak mereda juga. Maka dengan kemampuan maksimal, pada tahun 1751 dikirimlah sebanyak 1000 orang serdadu bule dan 350 serdadu pribumi (sebagian besar orang Madura) untuk menumpas habis pemberontakan. Serbuan ke Banten ini mengakibatkan pasukan pemberontak meninggalkan kota dan bergerilya diluar kota. Mereka melakukan pembakaran rumah-rumah dan perkebunan orang Eropah dan melakukan penyerangan pos-pos pasukan VOC. Namun seperti biasa, pertahanan kaum pemberontakpun bisa dipatahkan oleh VOC. Kubu pertahan utamanya bisa direbut pada bulan September 1751. Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang berhasil menyelamatkan diri. Setelah itu pemberontakan terjadi secara sporadis disekitar dataran tinggi Jawa Barat seperti disekitar Bandung dan Bogor. Usaha VOC untuk menumpas kaum pemberontak lama kelamaan berhasil juga. Banten tenang kembali. Putra Zainul Arifin bernama Zainul Asyikin kembali dari pengasingan, dia dinobatkan pada tahun 1753. Apa untungnya bagi VOC ?. Tentu saja perusahaan dagang tidak mau rugi. Kalau sebelum tahun 1753, Banten hanya bersifat daerah yang dilindungi, maka setelah ini Banten resmi menjadi wilayah jajahan VOC.
*Tulisan ini dibuat untuk menyambut berahirnya penjajahan Belanda pada tanggal 8-9 Maret 1942 (64 tahun yang lalu) dan dimulainya penjajahan Jepang. Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agutus 1945, setelah tiga setengah tahun berada dibawah Jepang.
Foto: Senjata Kujang yang khabarnya milik Kiai Tapa. (sumber; http://ighoest.multiply.com/photos/album/1/kujang_Pusaka_Jati_Diri_Sunda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar