“Demokrasi dialam Revolusi”
Sebagaimana diketahui masa kerja kabinet Sjahrir berlangsung dalam 3 babak Pemerintahan yaitu Kabinet Sjahrir pertama (14 November 1945 – 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir kedua (13 Maret 1946 – 2 Oktober 1946) dan Kabinet Sjahrir ketiga (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947).
Periode 14 November 1945 – 27 Juni 1947 menjadi penting karena merupakan awal perjuangan Revolusi Kemerdekaan dimana unsur konflik militer yang memunculkan pertempuran merupakan bagian yang sukar dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Semestinya, Kabinet Sjahrir adalah kabinet perang. Namun Sutan Sjahrir tidak memfungsikan pemerintahannya sebagai kabinet yang kuat dan militeristik tapi justru memulai fondasi sistim pemerintahan yang demokratis. Tapi perhatiannya pada masalah militer tidak dikesampingkan begitu saja.
Sjahrir bercita-cita mewujudkan kemerdekaan R.I yang merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah Negara yang menjunjung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa.[1] Tujuan itu tidak disebut-sebut dalam program awal kabinet pertama RI (18 Agustus 1945 – 14 November 1945) yang dipimpin Soekarno yang berbentuk Kabinet Presidensiel.
Kesempatan untuk mewujudkan cita-cita itu datang dalam persidangan pertama Komite Nasional Indonesia Pusat di Jakarta tanggal 16 Oktober 1945. Ketika itu Sjahrir diminta duduk sebagai ketua Badan Pekerja K.N.I.P dimana sebagian besar anggotanya sedang mengusulkan perubahan fungsi K.N.I.P dari hanya sebagai badan pembantu Presiden, menjadi lembaga legislatif. Hal itu didukung Hatta yang menerbitkan Maklumat Wakil Presiden No.X tentang pemberian kekuasaan legislatif kepada K.N.I.P. Bersama Presiden K.N.I.P juga ditetapkan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.[2]
Setelah menjabat, di lembaga tersebut Sjahrir menyusun Haluan Negara yang menggambarkan kedudukan R.I sebagai perwujudan hak menentukan nasib sendiri suatu Negara demokratis.[3]
Untuk mewujudkan Republik Indonesia sebagai negara hasil perjuangan Bangsa Indonesia yang demokratis, atas pemikiran Sjahrir pada tanggal 1 November 1945 diterbitkan Manifesto Politik oleh Pemerintah. Haluan Politik Pemerintah tersebut ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta.[4]
Untuk mendukung kebijakan nasional baru, pada tanggal 3 November 1945 diterbitkan Maklumat Pemerintah lainnya yang isinya antara lain, berdasarkan usul badan pekerja K.N.I.P, bahwa Pemerintah memberi kesempatan pendirian partai-partai politik[5]
Kemudian, sebagai ketua B.P K.N.I.P, Sjahrir mengajukan maklumat K.N.I.P no.5 tanggal 11 November 1945 yang isinya pembentukan kabinet dengan susunan menteri yang bekerja kolektif yang dipimpin Perdana Menteri. Perdana Menteri ditunjuk oleh Kepala Negara. Format itu terpaksa disetujui Presiden Soekarno.[6] Proses selanjutnya, pada tanggal 14 November 1945 terbentuk Kabinet R.I kedua yang berbetuk kabinet ministerial dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Keterangan Pemerintah tanggal tersebut tentang peristiwa ini adalah :
Oleh karena kabinet pertama RI dibentuk untuk sementara waktu tatkala saat yang genting dalam sejarah negara, maka sudah semestinya bagian dari Pemerintah tadi menunjukkan tanda-tanda tergesa-gesa. Pembaharuan dari kabinet memang telah lama dirasakan perlunya akan tetapi berhubung dengan beberapa keadaan maka terpaksa ditunda sampai kesempatan yang baik…..[7]
Pada tanggal 17 November 1945 diumumkan program Kabinet Sjahrir pertama ,
1. Menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan rakyat.
2. Mencapai koordinasi segala tenaga rakyat didalam usaha menegakkan Negara R.I serta pembagunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan perikemanusiaan.
3. Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat diantaranya dengan jalan pembagian makanan.
4. Berusaha mempercepat keberesan tentang hal Oeang Republik Indonesia (ORI).[8]
Dalam Kabinet R.I kedua atau Kabinet Sjahrir pertama, wakil ketua B.P K.N.I.P, Amir Sjarifudin telah diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat merangkap Menteri Penerangan.[9] Tidak jelas hubungan pribadi antara Amir dan Sjahrir sebelum kemerdekaan. Mereka sudah pernah bertemu beberapa kali sebelum dan sesudah zaman Jepang. Bahkan pembinaan pemuda sebelum perang yang dilakukan Amir, diambil alih Sjahrir dizaman Jepang. Kesan Sjahrir saat bertemu Amir pertama kali adalah orang yang penuh idealis yang berjiwa labil.[10] Setelah Proklamasi, keduanya kemudian sama-sama membentuk Partai Sosialis.
Alasan penunjukannya Amir sebagai Menteri Keamanan Rakyat selama 3 periode juga tidak jelas.[11] Sama tidak jelasnya apakah Sjahrir juga ikut menangani langsung hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan, keamanan dan kemiliteran dalam kabinetnya tersebut ?
Sejak tanggal 5 Oktober 1945 telah dibentuk badan kemiliteran nasional yaitu Tentara Kemanan Rakyat (T.K.R) dimana Oerip Soemohardjo diangkat sebagai Kepala Staf. Sedangkan Panglima T.K.R pertama yaitu Soedirman, baru terpilih pada tanggal 12 November 1945 secara aklamasi dalam konperensi T.K.R di Yogyakarta.
Pada tanggal 18 Desember 1945 oleh Pemerintah Kabinet Sjahrir, Soedirman resmi dilantik sebagai Panglima Besar T.K.R. Penundaan pelantikan ini menurut Anderson menandakan adanya persaingan dan pertentangan antara Pemerintah dan Komando Tertinggi Militer.[12]
Pada tgl 17 November 1945 Kabinet Sjahrir mengeluarkan Keterangan Pemerintah tentang dasar Tentara Keamanan Rakyat (T.K.R). Melihat gaya tulisannya jelas konseptornya adalah para pemuka pemerintahan beraliran sosialis. Kemungkinan besar Amir Sjarifudin sendiri yang membuatnya. Misalnya pada bagian alinea terahir, tertulis :
Kalau kita melawat keluar negeri, bisa melihat bahwa perbedaan antara pemuda Nazi dan pemuda Tentara merah Rusia. Hampir seperti perbandingan tentara Hindia Belanda dan TKR. Dalam dada pemuda-pemuda tentara merah itu kita dapat keyakinan yang kuat. Semangat perjuangan yang berhasil mengembalikan tentara Jerman sampai ke Berlin, meskipun pada permulaan perang tentara Hitler sudah masuk Moskow……..Kita yakin bahwa pemuda-pemuda yang masuk TKR pada waktu ini semangatnya mirip semangat pemuda Rusia yang masuk Tentara merah. Dengan ini kemenangan ada difihak yang membela kebenaran dan keadilan, menolak serangan dan penjajahan. Mengembalikan kemanan negara republik Indonesia.[13]
Berbeda dengan Amir Sjarifudin dan Sjahrir yang berpendidikan barat, Soedirman adalah seorang pemuda berpendidikan sekolah menengah Wiworo Tomo dengan budaya Jawa yang kuat dan dilengkapi rasa keimanan Islam yang baik. Pengalaman militernya justru ditempa dalam pendidikan militer Jepang dalam sekolah Perwira tentara Pembela Tanah Air di Bogor. Karir militernya diawali sebagai Daidanco (Komandan Batalyon) di Kroya. Ketika pecah perang kemerdekaan, dia berhasil menghimpun kekuatan tentara antara lain karena mampu mengambilalih kekuatan senjata ex-Jepang di wilayahnya. Seperti disebut diatas, tanggal 12 November 1945 dalam konperensi tentara di Yogya Soedirman didukung sebagai panglima T.K.R. Kalangan anggota militer yang hadir sebahagian besar berasal dari para perwira lulusan sekolah PETA. Dia dipilih sebagai Panglima T.K.R. bukan semata karena pengakuan kepemimpinan militernya saja tapi juga karena mutu pribadinya yang luar biasa. Dirinya merupakan figur seseorang yang mampu menggabungkan keperihatinan yang tenang, kesalehan yang tulus, serta mawas diri. Kelemahlembutannya membuat dirinya berhasil mendapat simpati setiap orang yang ditemuinya. Namun dibalik sikap yang sederhana itu tersembunyi kemauan yang keras dan tekad membara untuk mencapai cita-citanya.
Tokoh Komunis beraliran Leninis Trotskyis, yaitu Tan Malaka sejak zaman Jepang sudah berada di Indonesia.[14] Sebelum itu dia merupakan tokoh komunis Indonesia di luar negeri guna menyambung kepemimpinan P.K.I 1926 yang dibubarkan pihak Kolonial. Meski dibuang keluar negeri, ajaran Tan Malaka berjalan terus ditanah air. Bahkan berbagai buku tulisannya mengalir ke Hindia dan dipelajari oleh banyak kadernya.
Setelah kemerdekaan Tan Malaka berkelompok dengan sejumlah politisi nasional yang sepaham seperti Akhmad Subardjo, Iwa Kusuma Sumantri, Adam Malik, Mohammad Yamin, Sukarni dan Chaerul Saleh. Pada tahun 1947 mereka membentuk partai Murba.
Dalam aksi politiknya Tan Malaka selalu beroposisi dengan Pemerintah. Dia mendirikan Persatuan Perjuangan (P.P) yang melawan kebijakan Pemerintah Sjahrir. Dalam P.P, ada unsur tentara yang terlibat, termasuk Soedirman. Drama politik P.P akhirnya tamat berkaitan dengan penculikan Sjahrir tanggal 28 Juni 1946 dan peristiwa 3 Juli 1946 dimana pihak Pemerintah menuduh semuanya didalangi Tan. Sejumlah tokoh ditangkap dan P.P bubar.
Kebijakan politik Kabinet Sjahrir memunculkan politik luar negeri yang dikenal sebagai Politik Diplomasi.[15] Dengan Inggris dan Belanda, politik tersebut menghasilkan perjanjian Linggarjati.[16] Dua tokoh perundingan yaitu Sjahrir dan Schermerhorn berperan sangat istimewa untuk mewakili negaranya masing-masing guna mencapai perdamaian dan penyelesaian dekolonisasi Indonesia.
Dalam perundingan dengan Belanda yang ditengahi Inggris, Sjahrir memang bertemu patner seideologi yaitu Schermerhorn yang jabatannya sebagai ketua delegasi Belanda dan anggota Komisi Jenderal. Mereka bekerjasama, namun kerjasama ini ada batasnya, karena kepentingan politik negara masing-masing yang berbeda. Acungan jempol perlu disampaikan bagi Komisi Jenderal terutama kepada Schermerhorn, karena bersedia berkorban perasaan dan bersedia dicaci maki bangsanya sendiri serta berani menanggung resiko memiliki reputasi jelek dalam sejarah Belanda. Sjahrir meskipun mendapat perlawanan kaum oposisi, nasibnya lebih baik.
Bagi golongan oposisi, Linggarjati dianggap sebagai kesalahan besar karena memberi konsesi kepada Belanda. Selanjutnya karena berbagai usaha politik oposisi dalam negeri untuk menggagalkan Linggarjati tidak berhasil diselesaikan dalam K.N.I.P. Maka untuk meratifikasi persetujuan Linggajati dalam sidang K.N.I.P tanggal 25 Februari 1947, Presiden menambah anggota K.N.I.P menjadi 500 orang. Partai Sosialis dan partai lain pendukung Pemerintah yang dikenal sebagai Sayap Kiri memenangkan persaingan politik dalam negeri tersebut sehingga persetujuan Linggarjati bisa ditandatangani tanggal 25 Maret 1947 di Jakarta.
Sjahrir dalam kedudukannya sebagai Perdana Menteri, telah mengeluarkan beberapa kebijakan politik militer, seperti penarikan semua kekuatan bersenjata R.I keluar dari kota Jakarta pada pertengahan Desember 1945, pengangkutan tentara Jepang dan APWI (Allied Prisoner of War and Internees), bantuan makanan bagi anggota APWI yang terisoler di Bandung yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh T.K.R, pemulangan tentara Inggris warga India yang menyebrang kepihak Indonesia kepada induk pasukannya, keputusan untuk mengosongkan Bandung dari pasukan T.K.R (terkenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api), penanganan diplomatis akibat Peristiwa Lengkong yang terjadi pada tanggal 25 Januari 1946 .
Dalam membina hubungan baik dengan Pihak Sekutu, khususnya untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keamanan, Sjahrir dan Amir Sjarifudin selalu melakukan kontak pribadi dengan para perwira tinggi Inggris seperti Jenderal Christison dan Laksamana Patterson. Bahkan pernah pula langsung dengan Laksamana Mountbatten sendiri.
Untuk melaksanakan politik militernya Sjahrir tidak membutuhkan bantuan organisasi militer yang besar. Telah ditetapkan Kantor Penghubung Tentara di jalan Cilacap no.5 Jakarta, sebagai unsur pembantu pekerjaan sehari-hari Perdana Menteri dibidang militer. Secara organisatoris kantor ini berada dibawah Markas Besar Tentara dan bertanggung jawab kepada Kepala Staf Tentara, Jenderal Mayor Oerip Soemohardjo.
Pada Kantor Penghubung Tentara Jakarta dan pada berbagai kesatuan militer khususnya di Jawa Barat tersebar para pemuda binaan Sjahrir yang sejalan dengan pikiran dan gagasannya sehingga kebijaksanaan politik militer Pemerintah dapat dikembangkan dalam strategi dan taktik sesuai dengan kebutuhan Pemerintah.
Dalam kabinet Sjahrir I, (14 November 1945 – 12 Maret 1946) telah dimunculkan sejumlah kebijaksanaan Pemerintah. Tapi belum semua kebijakan Pemerintah yang tercantum tertulis. Hal-hal lain yang belum dimunculkan dapat ditelusuri dalam Manifesto Politik Hatta dan juga buku Perjuangan Kita . Salah satu yang nampak perihal kebijakan politik, dimana kebijakan politik militer merupakan bagian dari kebijakan politik umum pemerintah R I .
Kebijaksanaan politik adalah alat yang terutama berkaitan untuk mempertahankan eksistensi pemerintah dan kemerdekaan R.I sebagaimana yang dinyatakan dalam proklamasi 17 Agustus 1945. Artinya kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia, mengindari kembali berkuasanya penjajahan Belanda dan memunculkan simpati luar negeri atas perjuangan rakyat. Untuk kegiatan didalam negeri yang paling penting adalah bagaimana persatuan bisa terwujud , demokrasi bisa berjalan dan feodalisme bisa ditumbangkan.
Dalam kabinet Sjahrir ke kedua (13 Maret 1946 – 2 Oktober 1946), kebijaksanaan pemerintah sedikit melenceng akibat ulah PP yang ingin memperjuangkan kemerdekaan 100 %. Hal ini sulit dilaksanakan karena perundingan dengan Belanda sudah setengah jalan yang didasarkan kepada kesepakatan bersama. Sedangkan minimal program PP tidak mungkin diterima Belanda, meskipun Soekarno punya perhatian pada kegiatan PP secara menyeluruh.
Kelompok oposisi (P.P) berada dibalik penculikan Sjahrir 27 Juni 1946 dan usaha kup 3 Juli 1946. Karena mereka menganggap Sjahrir tidak mewakili rakyat Indonesia yang sedang berevolusi. Pemerintah menumpas P.P dan tokoh-tokohnya dipenjarakan. Keadaan ini sangat membantu dalam mewujudkan situasi sosial politik dan keamanan dalam negeri yang kondusif guna berlangsungnya perundingan Linggarjati. Ketika Sjahrir diculik, Pemerintah yang berkuasa adalah kabinet presidensiel karena Soekarno menerbitkan maklumat pemerintah no.1 tahun 1946 yang isinya mengambil alih kekuasaan Pemerintah. Ketika maklumat ini dicabut melalui maklumat Pemerintah no.2 tahun 1946, dibentuklah kabinet Sjahrir ke III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947). Dwitunggal Soekarno-Hatta mendukung kebijakan kabinet Sjahrir III, khususnya untuk berunding dengan Belanda. Antara lain menguasai sidang KNIP tanggal 25 Februari 1947 guna meratifikasi persetujuan Linggarjati, melalui penambahan anggota sehingga berjumlah 500 orang lebih. Ahirnya meskipun melalui jalan yang alot dan berbelit-belit akibat ulah Parlemen Belanda, Persetujuan Linggarjati ditanda tangani juga pada tanggal 25 Maret 1947.
Masalah yang kemudian muncul adalah justru kegagalan dalam mengimplementasi perjanjian Linggarjati itu. Visi dan Misi Belanda tidak cocok dengan pihak Indonesia. Lebih parah lagi adalah perpecahan dalam kubu partai Sosialis. Artinya dukungan sayap kiri pada kabinet Sjahrir dan kebijakan Pemerintah, berhenti. Kabinet Sjahrir ke III bubar. Sejarah kemudian membuktikan bahwa kabinet Amir Sjarifudin I, mulai berkuasa.
Dibidang militer, Sjahrir tidak berhadapan langsung dengan masalah pokoknya. Disana ada Amir Sjarifudin yang sejak memangku Menteri Pertahanan berusaha menata bidang militer menurut selera dan pandangan hidupnya. Padahal jangkauannya amat terbatas pada lingkungan militer karena sebagian lapangan militer menjadi tanggung jawab Soedirman sebagai Panglima Besar. Hal ini menimbulkan koflik laten di Yogya.
Sebagai Perdana Menteri Sjahrir tidak bisa membiarkan Amir berkonflik terus menerus dengan lembaga ketentaraan yang ada. Disadarinya disana ada Soedirman yang didukung oleh Soekarno dan Hatta. Maka didekatinya Soedirman dimana kebetulan sejumlah pembantu Soedirman adalah orang-orang yang dekat dengan Sjahrir. Hubungan harmonis Sjahrir-Soedirman berhasil dibina, khususnya dalam rangka melicinkan perundingan Indonesia Belanda. Dalam gencatan senjata 14 Oktober 1946, Soedirman adalah sosok yang berada didepan mendukung perundingan Indonesia-Belanda tersebut.
Sejak kepindahan Soekarno-Hatta ke Yogyakarta, terjadi kevakuman kepemimpinan politik Nasional di Jakarta dan sekitarnya atau lebih luas di Jawa Barat. Kesempatan ini dimanfaatkan Sjahir dengan sebaik-baiknya. Dengan alasan untuk membuat Jakarta sebagai kota Internasional agar cukup kondusif bagi persiapan perundingan Indonesia Belanda yang ditengahi sekutu, kekuatan militer Indonesia diminta keluar dari Jakarta. Sementara agar sikap tentara benar dan korek, selalu dipompakan pendapat dan keyakin Sjahrir kepada lembaba-lembaga militer. Tentu saja hal ini dilaksanakan melalui para pimpinan militer intelektual yang merupakan pemuda Sjahrir. Hal yang dimaksud Sjahrir sebenarnya cukup jelas tersurat dalam Perjuangan Kita. Sjahrir membutuhkan tentara yang bersatu, solid, efisien dan kuat. Maka personil tentara merupakan unsur S.D.M yang berkualits, professional, berdedikasi, serta berdisiplin tinggi. Seperti telah diuraikan diatas, untuk membantu kantor Perdana Menteri dibidang militer telah dibentuk Kantor Penghubung Tentara di jalan Cilacap no.5 Jakarta dimana berkiprah didalamnya sejumlah pemuda Sjahrir. Kantor Penghubung Tentara berperan sebagai tangan kanan Perdana Menteri dalam mewujudkan kebijakan Pemerintah serta pelaksanaannya dibidang militer.
Sebagai kepala pemerintahan Sjahrir gagal, tapi bukan berarti usahanya tidak ada gunanya sama sekali bagi negara dan bangsa Indonesia. Manfaat dari perjuangan Sjahrir, nampak dalam kebijaksanaan Pemerintah R.I. dibidang politik luar negeri. Sjahrir telah membangun landasan kuat atau tempat berpijak bagi sikap dan langkah yang diambil Departemen Luar Negeri R.I terhadap kolonialisme sejak tahun 1945 sampai sekarang.
[1] Subadio Sastrosatomo “Pengantar”, Mengenang Sjahrir 1980, hal. xxix.
[2] Osman Raliby, Documenta historica , 1953, hal.511
[3] Subadio Sastrosatomo, “Pengantar”, Mengenang Sjahrir 1980, hal xxxi
[4] Ibid, hal 525.
[5] Ibid, hal 529
[6] Ben Anderson, Revolusi Pemoeda, 1988, 207. Sebenarnya apa yang menggerogoti semangat juang kabinet pertama dan melumpuhkan tenaganya adalah kenyataan yang semangkin jelas mereka tidak diterima dunia luar maupun kekuatan revolusioner yang diwakili pemuda.
[7] Osman Raliby, Documenta historica, 1953, hal 95
[8] Ibid, hal 104
[9] Sedangkan dalam kabinet pertama Amir hanya menjabat Menteri Penerangan.
[10] Sutan Sjahrir, Renungan dan Peruangan, 1990, hal 252. Sjahrir berkata :”Aku dengar dia seorang yang pandai dan penuh idealis. Tapi sepanjang pengetahuanku tentang masa silamnya dalam politik, aku mendapat kesan bahwa kestabilan bukan sifatnya yang terkemuka.
[11] Dalam kabinet Sjahrir ke II, nama menteri kemamanan sudah menggunakan menteri pertahanan
[12] Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda 1988, hal.277
[13] Osman Raliby, Documenta Historica , 1953, hal 540
[14] Dia berada di Bayah Banten selama zaman Jepang dengan menyamar sebagai Romusha.
[15] Istilah dahulu “Politik Perdamaian”.
[16] Karena sampai saat ini daerah dimana berlangsung perundingan tersebut tahun 1947 menggunakan namaLinggarjati, maka selanjutnya dipakai kata ini bukan Linggadjati atau Linggardjati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar