Jumat, 20 November 2009

Dukungan masyarakat Belanda pada RI

Pada tahun 1949, ketika para pemimpin Republik Indonesia ditawan di Bangka, tidak sedikit dari masyarakat Belanda yang berdemo kepada pemerintahnya dan menuntut dibebaskannya para tawanan politik tersebut. Tampak pada gambar para anggota Kongres Rakyat Anti Imperialisme sedang bedemo dikota Den Haag. Banyak dari mereka adalah masyarakat Belanda Totok.

Selasa, 10 November 2009

Negara Pasundan Versi Kartalegawa



Oleh H. ROSIHAN ANWAR Wartawan Senior

SETELAH meliput Konperensi Malino sebagai wartawan Merdeka pertengahan Juli 1946, saat Letnan Gubernur Jenderal Van Mook memulai langkah ke arah pembentukan Negara Indonesia Timur sebagai pengimbang Republik Indonesia, bulan November saya terkejut karena di Bogor didirikan Partai Rakyat
Pasoendan (PRP) yang menentang RI. Penggerak di belakang partai itu ialah eks Bupati Garut Raden Soeria Kartalegawa. Dia tidak suka dengan perjuangan kemerdekaan. Dia ingin kembali ke zaman feodal, tatkala kaum menak punya kedudukan istimewa dan seorang regent (bupati) dilayani oleh rakyat selaku abdi setia. Pada hematnya Urang Sunda juga kepingin balik ke zaman baheula yang bagus. Mereka tidak mau diperintah oleh seorang Gubernur Republik. Urang Sunda masih tergantung pada dalam-dalamnya. Maka tanggal 18 November 1946 dibentuklah PRP. Sedikit sekali orang yang menghadiri rapat pendiriannya. Yang datang pun tidak tahu apa tujuan rapat. Kendati begitu kejadian itu mendapat publisitas dalam mingguan yang diterbitkan oleh Dinas Penerangan Belanda (RVD) Pandji Rakjat yang dipimpin oleh pegawai Nica-Belanda Almasawa, keturunan Arab Palembang.

NEVIS Intel Belanda

Saya tidak tahu banyak tentang perkembangan politik di kalangan Urang Sunda waktu itu, sehingga sedikit informasi yang saya peroleh berasal dari penerbitan Nica seperti Pandji Rakjat. Baru kemudian saya baca dalam buku "Nationalism and Revolution in Indonesia" karangan George McTurnan Kahin (1952 - 238) bahwa Kartalegawa mendapat ide untuk membentuk PRP dari eks perwira KNIL Kolonel Santoso, penasehat politik Van Mook. Pelaksanaannya dibantu oleh intel militer Belanda NEVIS. Karena di zaman kolonial Soeria Kartalegawa telah mempunyai riwayat buruk, Van der Plas menamakan fraudeur alias koruptor, maka bukanlah dia yang menjadi ketua PRP. Fungsi ini diberikan kepada Raden Sadikin, pegawai pusat distribusi pangan milik Belanda di Bandung Utara. Sedangkan sebagai sekretaris dan bendahara ditunjuk dua orang yang sebelum perang menjadi sopir dan di zaman Jepang mandur kebun sayuran. Untuk anggota-anggotanya diusahakan "paksaan halus" dan semata-mata di daerah yang dikuasai oleh tentara Belanda. Soeria Kartalegawa dan PRP berusaha mewujudkan sebuah negara Sunda merdeka yang kelak akan jadi bagian dari Negara Indonesia Serikat dan sama sekali terlepas dari Republik Indonesia. Usaha ini mendapat dukungan Residen Belanda di Bandung M. Klaassen yang menulis sebuah laporan tanggal 27 Desember 1946.

Politik adu domba

Residen Preanger itu menulis dalam laporannya bahwa sejak berabad-abad lamanya ada persaingan antara orang-orang Jawa dan Sunda. Ini akibat perbedaan dalam adat, kebiasaan dan mentalitas. Oleh karena Republik dipimpin oleh orang-orang Jawa dan Minangkabau, maka menurut Klaassen PRP itu bisa dipandang sebagai suatu "gerakan rakyat spontan." Residen merasa berbahagia di Priangan timbul suatu gerakan anti-Republik. Banyak pejabat Belanda di Jawa Barat setuju dengan Klaassen. Asisten-Residen M. Hins di Bogor mengatakan gerakan PRP harus didukung betapa pun di antara pimpinannya terdapat orang yang tidak seluruhnya bisa dipercaya, Cuma mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bukan karena mencintai tanah Pasundan. Pendapat ini juga disetujui oleh Gubernur Abbenhuis. Akan tetapi Letnan Gubernur Jenderal Van Mook tidak setuju dengan PRP,
partai yang tidak berarti dan dipimpin oleh "tokoh korup oud-regent van Garoet".

Kup di Bogor

Kartalegawa menjadi nekad setelah melihat sikap Van Mook. Dengan bantuan pegawai-pegawai BB Beladna setempat dia mengangkat dirinya sebagai ketua PRP. Pada sebuah pertemuan taggal 4 Mei 1947 di Bandung yang dihadiri oleh 5000 orang dia memproklamasikan Negara Pasundan. Kendati dilarang oleh Van Mook pejabat Belanda setempat toh menyediakan truk-truk untuk mengangkut para pengikut Kartalegawa ke Bogor. Di sini mereka disambut baik oleh Kol. Thompson, komandan tentara Belanda dan Residen Statius Muller. Kemudian diulang lagi upacara proklamasi Negara Pasundan. Karena tindakan tadi pers Republikein menyatakan Soeria Kartalegawa sebagai musuh negara nomor satu dan memberikan kepadanya penamaan: "Soeria-Nica-Legawa". Ketika akhir bulan Mei Presiden Soekarno datang dari Yogya meninjau Jawa Barat ternyata sebagian besar rakyat Sunda menolak Kartalegawa. Bung Karno berpidato di berbagai tempat dalam bahasa Sunda. Rakyat menyambutnya dengan penuh semangat. Dalam rombongan Presiden ikut anggota parlemen Belanda mewakili Partai Buruh Lambertus Nico Palar yang datang meninjau Indonesia. Palar yang kelak jadi wakil Republik di PBB tahun 1948-50 mengatakan Soekarno masih didukung oleh banyak rakyat dan Soeria Kartalegawa dianggap pengkhianat. Tapi ini tidak mencegah Kartalegawa melancarkan gerakan kup di Bogor tanggal 23 Mei dengan menduduki kantor-kantor Republik serta stasiun, kemudian meminta perlindungan Kol. Thompson dan Residen Statius Muller yang diberikan dengan segala senang hati. Di pihak Republik semakin kental perasaan bahwa di balik tindakan gerakan Pasundan bersembunyi tangan Belanda yang jahat dan Soeria Kartalegawa hanyalah alat politik kolonial Belanda

Kamis, 05 November 2009

Hasil K.M.B diterima pleno KNIP


Akhirnya bertempat di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta, pada tanggal 7-12 Desember 1949 dapat dilangsungkan Pleno Sidang Komite Nasional Pusat (KNIP) Republil Indonesia. Agenda sidang adalah untuk membicarakan hasil-hasil K.M.B. Presiden R.I Soekarno membuka sidang parlemen R.I ini dan Perdana Menteri Hatta, memberikan penjelasannya. Amanat Presiden Soekarno antara lain : "Berfikirlah dinamis. Pandanglah hasil K.M.B itu sebagai alat perdjuangan. Kami minta KNIP ini dengan fikiran sedalam-dalamnja dan rasa tanggung djawab jang sepenuhnja terhadap tanah air mengambil keputusan, sesudah mempertimbangkan masak-masak, apakah dengan hasil K.M.B itu dapat ditjapai tjita-tjita kita. Apakah dengan hasil K.M.B itu semakin dekat atau semakin djauh bangsa Indonesia dari tjita-tjita nasionalnja. Nasib tanah air kita tergantung dalam tangan tuan-tuan" Presiden kemudian meninggalkan Siti Hinggil. Beliau sempat meninggalkan kata-kata : "Kalau hasil-hasil K.M.B tidak diterima, sungguh saja tidak tahu apa jang akan terdjadi........."Setelah perdebatan sengit selama 7 hari maka akhirnya pada tanggal 15 Desember 1949, putusan sidang, menerima hasil K.M.B dengan suara 236 pro dan 62 kontra.
Diambil dari Lukisan Revolusi, diterbitkan oleh KEMPEN tahun 1950.

Rabu, 04 November 2009

Kabinet RIS mulai aktif awal Januari 1950


Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk pada tanggal 20 Desember 1949. Setelah Ibu Kota RIS resmi di Jakarta dan Presiden Soekarno kembali ke Jakarta pada tanggal 28 Desember 1949, pada awal Januari 1950 dimulailah sidang kabinet RIS yang pertama. Tempatnya di bekas gedung Volks Raad (sekarang gedung Pancasila) . Gambar atas Perdana Menteri Hatta sedang memimpin sidang dan bawah para anggota kabinat bersama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta berfoto bersama. Tampak pada baris depan dari kiri kekanan : Soepomo (Men.Kehakiman), Presiden Soekarno, Wapres/Perdana Menteri Hatta, Anak Agung Gde Agung (Men.Dagri), Barisan kedua : Kosasih (Men.Sos), Soeparmo (Men.Negara), A.Mononutu (Men.Pen), Wilopo (Men.Perburuhan), Barisan ketiga : Wahid Hasjim (Men.Agama), Sjafroedin Prawiranegara (Men.Keu), Laoh (Men.Perhub & PU), Abu Hanifah (Men.Pengajaran), Agak kebelakang : Leimena (Men.Kes) dan Sultan Hamid ke II (Men.Negara). Kabinet RIS ini berakhir masa tugasnya pada tanggal 6 September 1950. Dalam foto tidak tampak adalah Mohamad Roem yang telah berangkat ke Belanda terkait pada jabatannya sebagai Komisaris Agung. Dan pada bulan April 1950, Sultan Hamid ditangkap karena tuduhan keterlibatannya dalam peristiwa APRA.

Selasa, 03 November 2009

Sejarah panjang Republik ini



Perundingan Indonesia-Belanda pasca perang dunia ke II untuk dekolonisasi, merupakan hal yang baru bagi kedua bangsa, mengingat pada waktu-waktu sebelumnya yang baru dikenal ada adalah bangsa Belanda dan kaum Pribumi (Inlander) penduduk Hindia Belanda. Jadi mana mungkin sesama penduduk dibawak kekuasaan Kerajaan Belanda melakukan perundingan dengan status sama tinggi dan sama rendah ? Tapi Kemerdekaan R I ahirnya terjadi juga. Bagaimana hal itu mungkin ? Bisa saja, kenapa tidak ! Bukankah hak menentukan nasib sendiri sebagaimana tertera dalam naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 sah-sah saja ? (Baca : "Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia") . Dan bukankah hal ini sejalan dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dideklarasikan dalam sidang umum PBB tanggal 10 Desember 1948 bertempat di Palais de Chaillot Paris ? Dimana pada artikel pertamanya jelas dikatakan "All human beings are born free and equal in dignity and rights.". Lebih hebat lagi dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dideklarasikan tahun 1966 dan menjadi amat berpengaruh sejak 23 Maret 1976, dimana pasal pertamanya mengatakan : "All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development". Jadi konperensi Meja Bundar yang berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949, dilihat dari perspektif sekarang sungguh sangat legal dan didukung dunia ! Tapi proses Demokrasi ini tidak pernah didukung oleh Negara dan Rakyat Indonesia sendiri secara baik dan benar. Contohnya, Indonesia Merdeka ditujukan untuk melindungi setiap individu Warga negara Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. Ternyata Pemerintah yang sah, dalam hal ini Pemerintahan Negara Republik Indonesia, dari tahun 1945 sampai sekarang belum mampu melaksanakan hal itu dengan baik. Juga, rakyat Indonesia yang mestinya melaksanakan fungsi dan perannya serta bertanggung jawab sebagai warga negara juga belum pas. Masih untuk kepentingan dewe-dewe. Apalagi para wakil rakyatnya. Pegimana nih ? Masalah lain yang belum tuntas adalah, soal penyelesaian Negara Kesatuan. Kalau dilihat, tahun 1945, Self Determination itu tidak lengkap kalau ditentukan sendiri. Selain harus ada pengakuan negara lain, maka saat itu kemerdekaan hanya mungkin melalui penyelesaian bersama dengan negara penjajah. Makanya amat cocok kalau berkali-kali ada perundingan Indonesia-belanda (Hoge Veluwe,Linggajati, Renville, Roem Roijen, meja bundar) . Apalagi dilengkapi ikut sertanya pihak ketiga (Inggris, KTN, UNCI). Namun semua usaha perjuangan diplomasi ini hanya menghasilkan Kemerdekaan Negara Indonesia Serikat. lalu terjadilah sebuah pernyataan sendiri pada tahun 1950 yaitu Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lucunya kaum Federalis diam saja, bahkan ikut-ikutan mendukung NKRI. Terus terang saja Belanda amat kaget pada perubahan ini. Baru belakangan hal ini menimbulkan kekisruhan. Kekuasaan sentral Jakarta tidak dapat mengendalikan perkembangan daerah yang tambah hari, tambah komplek. terjadilah pemberontakan separatis, perlawanan pada pusat, terorisme, tuduhan dominasi jakarta, Pimpinan daerah yang mbalelo dan sebagainya. Kemudian muncullah kebijaksanaan itu yang namanya "Otonomi Daerah". Apakah semua itu cukup ? Ternyata belum. Ditambah semua keadaan yang menyedihkan, mulai dari bencana alam, kebangkrutan ekonomi, birokrasi yang retak, korupsi, kecelakaan sistim pengangkutan didarat, laut dan udara. Sungguh amat miris nasib bangsaku ini !
Tulisan ini bisa dibaca sebagai Original Message From: Husein Rusdhy To: mediacare@yaho... Sent: Thursday, February 01, 2007 9:48 PM Subject: Re: [mediacare] Re: Danny Lim for Wapres RI 2009

Senin, 02 November 2009

Hari ini 60 tahun yang lalu K.M.B berakhir

Tanggal 2 November 1949, sidang formil Konperensi Meja Bundar ditutup secara resmi di Den Haag Negeri Belanda. Tanggal 7 November 1949, Mr Mohamad Roem kembali ke Indonesia karena akan bertugas selaku panitia pemilihan Presiden R.I.S yang akan di jabat oleh Bung Karno. Bung Hatta baru kembali tanggal 14 November 1949 ke tanah air. Namun akan mampir lebih dahulu di Cairo Mesir, Karachi Pakistan dan Singapura. Di Ibu Kota RI Yogyakarta, pada tanggal 18 November 1949, pemerintah Republik Indonesia menerima baik hasil-hasil KMB. Dan pada tanggal 25 November 1949, oleh Perdana Menteri Hatta soal KMB dijelaskan dimuka sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat Republik Indonesia. Hal ini merupakan bagian dari pertanggung jawaban pemerintah RIyang akan dilakukan terhadap sidang pleno KNIP pada permulaan bulan Desember 1949. Dalam pidatonya tersebut berkatalah Perdana Menteri Hatta :
“DipukuI rata, hasil yang ditjapai pada K.M.B. itu boleh dikatakan memuaskan, sungguhpun tidak segala orang sudah merasa puas. Orang jang tidak merasai sulitnja perundingan, mudah mengabaikan pendirian dan kemauan lawan. la hanja melihat tuntutan sendiri sendiri, sebab itu ia tidak akan dengan puas dengan hasil jang ditjapai itu. Tetapi dengan penindjauan seluruhnja, historis dan internasional, apa jang kita tjapai pada K.M.B itu, adalah jang sebaik-baiknya jang mungkin ditjapai pada waktu ini”.
“Kami tahu, bahwa ada diantara kita jang akan berkata bahwa hasil K.M.B itu belumlah kemerdekaan 100%. Berbubung dengan itu kami hanja ingin bertanja: apakah jang dikatakan. kemer­dekaan 100% ? Indonesia Merdeka bukanlah tudjuan achir bagi kita. Indonesia Merdeka adalah sjarat untuk mentjapai kebahagiaan dan kemakmuran rakjat. Indonesia Merdeka tidak ada gunanja bagi kita, apabila kita tidak sanggup mempergunakannja untuk mentjapai tjita-tjita rakjat kita: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian djasmani maupun rohani. Maka dengan tertjapainja penjerahan kedaulatan, perdjuangan belum lagi selesai. Malahan kita baru pada permulaan perdjuangan jang lebih berat dan lebih mulia, jaitu perdjuangan untuk mentjapai kemerdekaan manusia daripada segala tindasan. Kemadjuan jang diperoleh dalam perdjuangan itu tidak sadja bergantung kepada.kemadjuan jang kita peroleh didalam negeri, tetapi djuga dan istimewa terpengaruh oleh keadaan dunia dan masjarakat interna­sional. Perdjuangan ini menghendaki idealisme jang tetap, pandangan realiteit jang benar dan rasa sabar jang tak kunjung lenjap….”
“Soal Irian mendjadi suatu soal perundingan antara dua Negara jang sama-sama berdaulat jaitu R.I.S dan Keradjaan Belanda. Dengan putusan sematjam ini Indonesia tidak melepaskan tuntutannja pada Irian…”
“Orang jang mempunjai kepertjajaan bahwa waktu ada pada fihak kita, berani menerima pendjelasan soal Irian dimasa datang”.
(Diambil dari Lukisan Revolusi 1945-1949. Diterbitkan oleh Kem.Pen Desember 1949)